Hawa yang panas, dan tubuh yang berkeringat tidak mampu menggoyahkan konsentrasi pria yang satu ini. Matanya tajam menatap obyek yang ada dihadapannya, tangannya memilin-milin gulungan tipis kertas Koran bekas dan merekatkannya menjadi bagian dari perahu yang tengah dikerjakannya.
Namanya Heriyanto, sering dipanggil oleh kawan-kawannya dengan nama Tuglay. Nasib buruk mengantarkannya menjadi seorang tahanan di Polres Jakarta Selatan. Disini ia mengalami salah satu ujian terberat dalam hidupnya.
Kebebasannya dirampas oleh hukum, sekurang-kurangnya kebebasan fisiknya. Dia harus mendekam bersama 11 rekannya dalam suatu sel yang berukuran 3 x 6 m2. Selama 24 jam setiap hari ia dikunci dalam ruangan yang berhawa panas itu, sedemikian panas sehingga sehari-hari ia dan sebagian besar kawan-kawannya memilih untuk bertelanjang dada saja. Bathinnya tersiksa oleh ketidak pastian hukuman yang masih harus diputuskan kelak di pengadilan, ingatannya melambung membayangkan apa jadi nasib keluarga yang ia tinggalkan diluar menghadapi kekerasan hidup ditempat tinggalnya di Desa Sarua Dukuh Ciputat. Belum lagi rasa bosan, karena tidak dapat melakukan hal-hal yang disukai, dan harus tinggal ditempat sempit seperti ini. Himpitan ketidaknyamanan fisik dan siksaan bathin ini seringkali membuat seorang tahanan mengalami stress dan tidak mampu berbuat apapun selain menangis dan tidur. Banyak pula yang menyerah pada nasib, tatapan mata kosong, pikiran yang jadi linglung, lidah serasa kelu, berat diajak berkomunikasi adalah ciri yang muncul ke permukaan dari trauma stress para tahanan. Ada pula yang marah dan melampiaskan amarahnya dengan obyek sesama rekan tahanan, membuat suasana yang sudah terasa panas makin membara.
Tetapi pria ini telah menemukan jalan keluarnya, “Saya tahu saya akan mendekam cukup lama di penjara kelak karena kesalahan langkah saya. Tetapi berada di rumah tahanan ini, meski terasa lebih berat daripada di penjara saya telah menemukan cara untuk mengatasi tekanan mental yang saya hadapi, dengan membuat kerajinan tangan dari kertas koran bekas ini.”
Tangannya yang terampil membentuk pilinan kertas koran, potongan karton dan kardus menjadi bentuk-bentuk yang indah. Perahu Bugis adalah salah satu bentuk karyanya yang sangat ia gemari. “Perahu ini akan saya gunakan untuk “berlayar” “, ujarnya. “Berlayar”, bagi kaum tahanan, adalah istilah untuk mereka yang pindah dari tahanan kepolisian menjadi tahanan kejaksaan atau dari tahanan kejaksaan menjadi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Seringkali kata “berlayar” itu diucapkan dengan senyum karena melambangkan semakin dekatnya mereka kepada hari pembebasanya.
Perahu Bugis buatan Heri, dibuat dari lintingan kertas koran yang dibuat menjadi bentuk batangan yang keras seperti layaknya kayu, dengan bantuan lem. Batang ini kemudian dibentuk menjadi kerangka, lunas, bahkan jangkar beserta talinya. Untuk finishing pengecatannya Heri memilih menggunakan seduhan teh celup yang dicampur lem sehingga menghasilkan semacam vernis. Maklum di tahanan pilihan serba terbatas jadi harus mampu berinovasi dalam penggunaan bahan. Satu buah perahu, bila dikerjakan Heri bersama satu pembantu akan selesai dalam waktu 4 hari. Saat ini ia berusaha menyelesaikan 2 atau 3 perahu dalam 4 hari, dengan dibantu 4 orang kawannya. Hasilnya ia hadiahkan kepada sesama tahanan, dan kepada anggota kepolisian yang menjaganya.
“Karya yang indah dan unik”, demikian rata-rata tanggapan dari orang yang dihadiahinya. “Sulit dipercaya karya ini dapat dihasilkan dalam kondisi keterbatasan yang dihadapi penciptanya”, pendapat mereka. Apresiasi yang demikian tinggi membuat si penerima tak segan-segan merogoh sakunya untuk membantu Heri melanjutkan hidupnya. Heri tidak mematok harga untuk karyanya. Ia hanya berharap karyanya, walaupun sederhana, menjadi kebanggaan bagi pemiliknya, bukan karena harganya tetapi karena melambangkan jiwanya yang tak kenal menyerah, yang terus mendorongnya untuk berkarya saat kebebasannya terpasung.
Surviving soul, jiwa yang terus hidup, kreatif dan bermakna bagi lingkungannya, adalah jiwa yang kuat yang dimiliki oleh Heri.
Jakarta, subuh, sembilan Mei
oleh Eddie Widiono
Kontak Heri melalui:
Address :
Desa Sarua Dukuh.
Jalan Arya Putra – Gang Sukma RT 04/01 No.20
Kec. Ciputat – Kab. Tangerang.
Bila anda berminat pada karya Heri, pesanan dapat disampaikan melalui:
Email address: herituglay@gmail.com